Judul : Stranded Sutradara : Gonzalo Arijon Penulis Naskah : Gonzalo Arijon Genre : Dokumenter Durasi : +/- 130 menit
Stranded: Neraka yang Amat Dingin
Film itu menuntun penonton, semenit demi semenit, untuk merasakan sebuah jahanam yang membuat manusia menggigil kedinginan dan senantiasa dirundung kecemasan tanpa akhir. Belum lagi desahan suara angin yang menciutkan nyali dan membekukan kulit. Gonzalo Arijon, sang sutradara, berhasil membawa penontonnya untuk merasakan pengalaman berada di sebuah gurun salju yang mencekam. Selama 130 menit, kita diajak untuk ikut cemas bahkan depresi karena kejadian demi kejadian yang menimpa korban, terus menerus.
Film yang masuk dalam program Kompetisi Joris Ivens di IDFA 2007 ini berkisah tentang sebuah kecelakaan pesawat pada Jumat, 13 Oktober 1972. Kapal terbang naas itu membawa tim rugby Old Christians dari Stella Maris College, Montevideo, Uruguay ke Santiago, Chile kandas di tengah-tengah padang salju di Pegunungan Andes, empat ribu meter di atas permukaan laut. Dari 45 penumpang, pada akhirnya, hanya tinggal 16 pria yang selamat, setelah melewati lebih dari 10 pekan dalam hari-hari yang mengerikan. Dan 35 tahun kemudian, bersama anak-anak mereka, para korban yang selamat mengadakan reuni di TKP, yang kini bernama Lembah Air Mata.
Stranded adalah tipe film yang sangat mendetail dalam bercerita. Para narasumber di antara para survivor, ada Roberto Canessa, Alfredo "Pancho" Delgado, Roberto "Bobby" François, José Luis "Coche" Inciarte, Javier Methol, Carlos "Carlitos" Páez, Nando Parrado, Ramon "Moncho" Sabella, Adolfo "Fito" Strauch, Antonio "Tintin" Vizíntin masih bisa dengan jelas dan lancar menceritakan, bahkan hingga hal-hal kecil: kejadian demi kejadian, hari demi hari, peristiwa demi peristiwa. Penonton pun merasakan deraan keputusasaan dan perasaaan, “kapan semua penderitaan ini akan berakhir?”; dan, “hal naas apa lagi yang akan menimpa mereka?”
Peristiwa ini menjadi perbincangan dunia kala itu. Media berfokus pada angle “Mengapa Anda tega menjadi kanibal?“ Pemerintah Uruguay membuat perangko khusus. Beberapa buku diterbitkan, dan kini bahkan ada situs resminya di internet.
*
Tetapi, ditimpa oleh dinginnya salju abadi Pegunungan Andes, dan kejamnya angin dingin yang menusuk ke tulang sumsum dan merusak kulit, bukanlah satu-satunya neraka bagi mereka.
Neraka adalah ketika kita sudah mengira telah menerima kejadian paling mengerikan, tapi ternyata ada lagi hal yang lebih menyeramkan —dan lagi, dan lagi.
Neraka adalah ketika kita meyakin-yakinkan diri kita bahwa masih ada harapan, tetapi sebenarnya kita sudah kehabisan akal untuk mencari jalan keluar.
Neraka adalah melihat teman dan kerabat kita satu demi satu mati, tanpa kita bisa berbuat apa-apa. Sedangkan nasib diri sendiri pun belum jelas, karena bola salju raksasa bisa longsor kapan saja.
Neraka adalah saat kita mendengarkan informasi dari radio rakitan, bahwa regu penyelamat sudah menghentikan pencariannya. Dan perasaan ditinggalkan oleh keluarga pun, mau tak mau, menyeruak. Kita menjadi benar-benar terasing, terbuang, dan tak ada yang peduli lagi.
Neraka adalah ketika persediaan makanan sudah makin menipis, dan keadaan masih saja tidak ada kemajuan, bahkan setelah dua bulan. Dan alam tak menyediakan apa pun yang layak untuk disantap.
Neraka adalah ketika kita dengan terpaksa memakan daging mayat orang-orang yang kita kenal, hanya sekadar untuk bertahan hidup —entah sampai kapan.
Neraka adalah ketika sama sekali tidak ada kepastian tentang apa pun: Apakah kita akan selamat? Siapa yang akan menyelamatkan kita? Kapan?
Neraka adalah ketika kita sudah berpikir lebih baik mati dari pada hidup tanpa kejelasan, bak perigi tanpa ujung. Tak ada perubahan dari hari ke hari, walau segala akal dikerahkan, hingga yang terbaik adalah menemukan cara agar tetap waras.
Neraka adalah saat kita sudah mencari-cari pertolongan, naik ke puncak bukit, dan menemukan fakta tak ada sesuatu pun di sana kecuali gundukan salju yang putih—hingga sepanjang mata kita memandang.
Neraka adalah ketika akal sehat, kebudayaan, dan peradaban sudah tidak berguna lagi, dan diganti hukum primitif. Aturan kuno berlaku, mereka bersatu padu karena insting belaka.
Dalam Stranded, neraka itu nyata dan penonton dipaksa untuk ikut merasakannya. Apakah ia percaya Tuhan atau tidak, neraka itu mendatangi mereka. Orang-orang yang selamat sebagian besar menyatakan bahwa inilah tanda kebesaran Tuhan, dan di padang salju mereka merasa sangat kecil. Mereka pun memuji Tuhan dengan butir-butir rosario, dan menggemakan doa. Tapi ada juga yang menjadi tak percaya agama.
Bagi yang beriman, mereka mempunyai alasan untuk memakan jenazah korban lainnya. “Seperti saat The Last Supper, Yesus memberikan daging dan tubuhnya untuk keselamatan umatnya. Maka kami pun melakukan hal yang sama, sebuah communion yang akrab,” ungkap mereka. Tapi, ada juga alasan praktis, misalnya ingin menemui anak atau ayahnya.
Ada hal unik yang diungkapkan salah satu survivor. “Saat itu, saya merasa amat dekat dengan Tuhan. Tapi saat ini sudah tidak lagi”. Ia berkata pada anaknya yang ikut berziarah ke Valley of Tears, lokasi kejadian. “Mengapa sekarang tidak dekat lagi? Bukankah ayah ada di tempat yang sama?” tanya putrinya. “Karena semuanya sekarang sudah pasti. Saya ada di sini sekarang, tadi saya dari sana, dan nanti saya akan pergi ke situ. Saya tidak butuh Tuhan lagi,” ungkap sang bapak.
Kelak, saat mereka selamat dan diperiksa, tim medis menyatakan bahwa tidak ada hal serius yang mereka derita. “Saya tidak punya jawaban untuk hal ini. Kalau saya bukan dokter, saya akan bilang ini sebuah keajaiban dari Tuhan.”
Sebagian besar dari mereka mengalami sakaratul maut, agak mirip dengan yang digambarkan dalam pelatihan ESQ atau banyak laporan tentang pengalaman nyaris mati di berbagai tempat di dunia (termasuk dalam film-film Hollywood), dengan menyatakan bahwa tiba-tiba kilasan gambaran dari masa lalu muncul satu persatu. “Saat itu terasa damai,” ungkap salah satu narasumber. Dan, dar! Tiba-tiba dirimu menjadi sadar kembali, dan ada mayat berserakan menimpa tubuh, tangan, dan kaki mereka.
Kekuatan harapan juga membuat mereka seakan mempunyai kekuatan super untuk terus mendaki dan mencari jalan kembali “..melihat dataran hijau”. “Saat itu, di tengah pendakian, saya sudah kehabisan akal. Kalau saya tak meneruskan perjalanan karena letih luar biasa, saya akan mati. Tapi lebih baik mati saat berusaha. Toh nothing to lose, mengapa tidak dicoba?”
Tapi, baik yang spiritualis atau materialis, kala itu keduanya sepakat sedang berhadapan dengan fakta yang satu: Neraka! Neraka yang amat dingin dan mencekam jiwa.
*
Jika kita merefleksikan berbagai anasir neraka di film ini ke dalam keseharian, di rumah, di jalan, di kantor, di pasar, kehidupan bernegara, bukankah ia dekat dan nyata?
Mampukah kita menyimpan harapan yang membuat bertahan hidup dan mempunyai tenaga ekstra untuk mengubah takdir, seperti ke-16 korban yang selamat dari Andes setelah melewati 10 minggu lebih itu? ***
Sumber: Rumahfilm.org
Baca Selengkapnya..